Makna Mie Aceh di Bulan Kemerdekaan dan Konsep ‘Dikit Tapi Enak’
Home Page >> Traveling dan Kuliner >> Makna Mie Aceh di Bulan Kemerdekaan dan Konsep ‘Dikit Tapi Enak’
Percakapan dengan suami beberapa hari lalu seolah membenarkan pepatah orang jaman dulu. Aku sendiri termasuk orang yang mudah marah saat lapar, jauh berbeda sama suami yang diam aja, sampai lupa kalau memang belum makan.
Sederhana sekali kelihatannya menjaga kesetiaan, sebagaimana kita sebagai orang Indonesia juga harus setia merawat beragam kuliner yang melimpah sebagai salah satu cara melestarikan budaya leluhur di masa lalu.
Apalagi di tengah beragamnya makanan khas luar negeri yang masuk ke Indonesia, sudah selayaknya kemerdekaan di tahun ini harus dimaknai secara mendalam, bagaimana harus tetap bertahan di era gempuran kuliner Korea, Jepang, Eropa dan segala yang datang tanpa diundang.
Awal Mula Terbentuknya Konsep Dikit Tapi Enak
Hidup mandiri sejak kecil menumbuhkan pribadi suami tak menyukai makanan yang nantinya tersisa banyak, bahkan konsep tersebut membentuk sebuah prinsip bahwa memasak porsi cukup dengan rasa yang enak dapat mengantisipasi terbuangnya makanan. Ada berbagai persyaratan makanan yang bisa disebut enak menurut suami, mulai dari kondimen harus lengkap, goreng telur mata sapi dan bikin mie instan harus sesuai aturan, hingga persoalan pemisahan sayuran.
Hal itu berbeda dengan konsep makan keluargaku di desa. Apapun makanannya, penting bisa makan bareng dengan porsi yang melimpah untuk 6 orang. Tak peduli soal rasa, yang terpenting adalah perut kenyang saat itu juga. Jika ternyata masih ada sisa, kami berpikir masih ada beberapa ekor ayam yang siap menampung makanan.
Dulu sangking nggak punya uang, karena hidup terbiasa mengandalkan panenan sawah baik nasi atau sayurnya, tak pernah ada istilah lauk bakalan tersedia di meja makan, mungkin kerupuk itu pun hasil bikin sendiri ibu dari singkong kebun. Seperti halnya saat bikin satu mie instan goreng aja bisa jadi mie kuah dengan banyak sayuran hasil panen dari sawah agar semuanya mendapat jatah.
Sebenarnya menurutku hal ini menodai hakikat mie sebagaimana aturan mainnya yang satu mie instan hanya cukup untuk bikin kenyang satu orang, tapi ya gimana konsep makan keluarga petani kan ‘satu untuk semua’. Asal ada nasi dari padi panenan di sawah, nggak penting soal rasa, yang penting semua dapat jatahnya.
Setelah menikah aku pindah tinggal di kota. Semuanya tampak berubah termasuk persoalan rasa makanan yang harus diperhatikan sedetail mungkin, karena setiap ada bumbu atau rempah yang tercampur berbeda dari biasanya bakalan mudah dikenali oleh suami. Untungnya jika aku memasak tak sesuai dengan selera rasanya, ia bakalan cari sendiri ya minimal goreng telur mata sapi dengan kaidah dan aturan yang telah diciptakannya sendiri.
Aturan Goreng Telur Mata Sapi dan Mie Instan
Tak hanya soal rasa masakan yang punya aturan ketat, hal itu juga berlaku buat goreng telur mata sapi serta mie instan. Bagi sebagian orang berpikir bahwa cara memasak paling mudah itu menggoreng telur atau membuat mie instan, ternyata setelah menikah aku baru menyadari ada tahapan tertentu untuk memperlakukan telur dan mie instan sebaik mungkin.
Untuk menghasilkan telur mata sapi yang berkualitas dengan perpaduan rasa gurih dan kenyal, suami menyarankan bahwa taburan garam, lada, serta bubuk kaldu harus sesuai dengan tempatnya. Taburan garam cukup di bagian putih telur, bubuk lada taburkan agak banyak pada bagian kuning telur, tak lupa bubuk kaldu ayam biar makin gurih merata ditabur pada bagian akhir.
Terkadang curiga kalau dulunya suami pernah kursus atau minimal kuliah sebentar jadi koki, karena memang rasanya beda dibandingkan saat bikin asal-asalan, asal jadi. Selain itu, cara bikin mie instan juga harus sesuai dengan kaidah yang telah tertera di bagian belakang kemasan. Harus sedia jam tangan agar mie mengembang secara sempurna tanpa khawatir kurang matang, atau kematangan.
Mie Aceh, Kuliner Khas yang Disukai Keluargaku
“Seperti Mie Aceh yang menggabungkan rempah-rempah dari berbagai budaya menjadi satu hidangan khas, kemerdekaan Indonesia adalah hasil dari persatuan dan keberagaman, di mana perbedaan menjadi kekuatan dan identitas kita sebagai sebuah bangsa.”
“Mie Aceh jadi menu favorit keluarga yang selalu dinikmati bersama, mengingatkan kita pada makna kemerdekaan—diraih melalui kebersamaan dan kini menjadi kebanggaan yang harus dijaga.”
Aku baru menyadari bahwa konsep hidup soal makanan yang dipilih suami sebenarnya cara sederhana memperlakukan makanan sesuai kodratnya. Jika makanan memperoleh haknya yang sesuai dengan cara dimasak, memperhatikan kaidahnya, seperti misalnya memasak sayur bening harus bersama teman-teman seperjuangannya seperti kerupuk dan sambal.
Maka hasil yang didapatkan, makanan akan memperoleh hak untuk dihabiskan bukan dibuang atau tersisa. Tak hanya sayuran saja yang harus punya kondimen lengkap, tetapi juga memasak jadi tak asal-asalan agar rasa murni dari setiap bahan makanan itu ada.
Seperti halnya, beberapa waktu lalu aku mencoba memasak mie goreng yang resepnya kudapatkan dari kafe yang sering kukunjungi. Katanya mie yang ada dalam daftar menu merupakan kuliner Khas Aceh. Jadi, ketika lagi malas makan nasi, mie goreng Aceh ini jadi andalan untuk disajikan di menu keluarga karena kandungannya lengkap.
Semenjak memiliki anak, aku memang memperhatikan soal nutrisi setiap masakan yang kubuat. Harus memiliki kandungan protein dari lauk pauk, karbohidrat dari nasi, kentang, atau mie, serta vitamin dan serat dari sayurannya. Dulu mana pernah aku mempertimbangkan soal nutrisi, tapi kali ini beda, bahkan suami merasakan perbedaannya.
Termasuk memasak mie saja, aku mulai banyak variasi cara memasaknya. Dari Mie Aceh, mie kuah tomat, hingga mie ayam. Memang jadi ibu itu harus terus belajar, kan. Termasuk belajar soal resep masakan agar disukai keluarga. Salah satunya Mie Aceh ini jadi favorit dikala kami sekeluarga GTM sama nasi. Hehe.
Oh ya, resep ini sudah disesuaikan dengan keluargaku yang tak terlalu menyukai rempah, serta daging sapinya kuganti dengan ayam. Tapi rasanya, jangan ditanya, tetap enak.
Resep Mie Goreng Aceh
Mie kuning (aku pakai mie merk Menjangan)
Daging ayam secukupnya dan potong dadu
3 siung bawang putih, iris tipis
3 siung bawang merah, iris tipis
1 buah tomat, potong serong
Air
Tauge (Skip bila tidak suka)
Penyedap, garam, gula pasir, kecap
Minyak sayur
Daun bawang iris tipis, bawang merah goreng
Bumbu yang dihaluskan
5 butir bawang merah
3 siung bawang putih
Cabai merah besar
Kapulaga, jintan (Skip jika kurang suka rempah)
Cara membuat
-
- Haluskan semua bumbu, lalu tumis bersama irisan bawang yang sudah dipersiapkan. Masak hingga harum.
-
- Lalu masukkan daging ayam, aduk dan tunggu hingga berubah warna.
-
- Tambahkan tauge dan tomat, lalu garam, kecap, gula, dan penyedap.
-
- Setelah itu, masukkan mie yang sudah dimasak sebelumnya. Aduk secara merata, sambil ditaburi daun bawang.
-
- Mie siap disajikan, jangan lupa taburi bawang goreng agar makin gurih dan nikmat. Jika suka acar, bisa ditambahkan juga, ya.
Itulah resep simple Mie Aceh dan sekilas konsep hidup soal makanan yang telah diajarkan oleh suami. Mungkin masing-masing orang memiliki selera rasa yang berbeda, tetapi jika kita memperlakukan makanan sesuai kodratnya, tak hanya dapat menjaga bumi karena terhindar dari sampah sisa makanan, tetapi juga makanan mendapatkan kemurnian rasa yang sesungguhnya.
Dari Mie Aceh, Aku Belajar Soal Kemerdekaan
Meskipun Mie Aceh yang kubuat sudah menyesuaikan lidah di keluarga, tapi dari kuliner ini aku belajar tentang makna keberagamaan dari Bhineka Tunggal Ika, berbeda tetapi tetap satu jua. Seperti yang kita ketahui bahwa sajian mie ini merupakan akulturasi dari tiga kebudayaan; India, China, dan Aceh.
Rempah yang beragam dari kapulaga, dan jintan, bercampur dengan bumbu-bumbu dalam hidangan mie, akan menjadi satu kesatuan unik. Mie yang berasal dari China berpadu dengan rempahnya Aceh, dan bumbu kuah rempah yang dipengaruhi India menghasilkan rasa mie yang menguatkan segala perbadaan.
Oleh karena itu, dimulai dari keluarga, aku ingin mulai merawat kuliner Nusantara. Mengenalkan makna kemerdekaan bukan hanya tentang berperang, tetapi bagaimana perbedaan bisa menyatukan dan ikut bertanggung jawab terhadap keutuhan Negara. Seperti halnya Mie Aceh yang menjadi kuliner favorit keluarga, meski berbeda-beda asal muasalnya tetapi tetap saling menguatkan demi sebuah rasa khas untuk bisa dinikmati bersama.
Oh ya, jika kamu memiliki cerita tentang kuliner Indonesia, kamu bisa pantengin website Indonesian Food Blogger. Di sini nggak cuma update soal berbagi resep, tips dan triks cara foto makanan, dan cerita soal kuliner, tetapi ada juga challenge yang diadakan tiap beberapa bulan sekali. ***
6 Comments
enak walau di modif².. 😆
Hmmm terlihat enak, jadi pengen bikin juga nih di rumah. Aku juga biasa bikin ini kalau lagi masak. Bisa menambah selera makan juga, apalagi kalau dimakan anget-anget, dijamin bakal nambah nasi, hehe. Tim pake nasi soalnya aku, wkwkwk.
Ngomong² soal mie aceh jadi teringat mie aceh langganan saya di Dago Atas saat kuliah dulu di Bandung. Mie Acehnya enaak banget, kalau abis nugas laper pasti deh turun beli mie aceh..😍😍
Mie Aceh itu rasanya unik, jadi kangen makan mie Aceh nih, ada resto masakan Aceh di Surabaya tapi belum pernah nyobain, semoga ada mie Aceh dengan rasa yang pernah saya coba dulu saat di Batam
aku pelanggan setiap mie Aceh deket rumah. aku mieholic. semua mie aku suka cuma jarang banget makan mie instan kemasan. suka mie yang diracik dan dimasak sendiri dengan cinta hahaha.
[…] Pemenang 8: Anisa Alfi Nur Fadilah, Makna Mie Aceh di Bulan Kemerdekaan dan Konsep ‘Dikit Tapi Enak’ […]