Dua bulan lagi tahun berganti. Tapi ada satu hal yang paling kusyukuri di tahun ini: mengenal teman-teman pengusaha muda se-Blitar Raya, mendengarkan kisah mereka, dan belajar banyak hal tentang dunia bisnis.
Aku masih tahun pertama menjalani bisnis. Masih banyak yang harus kupelajari, termasuk membentuk mental pengusaha. Makanya aku memutuskan mengunjungi para pemilik usaha, dan membuatku sadar bahwa ilmu dan pengalaman mereka sungguh berharga.
Minggu ini aku berkesempatan mendengar kisah perjalanan usaha dari Mbak Regina, pemilik Gemilang Store yang berlokasi di daerah Tanjungsari.
Gemilang Store sendiri merupakan sebuah bisnis yang menaungi berbagai lini, mulai dari distributor Journey Scarf Blitar, Baby Spa, produk kesehatan dan body care, hingga kelas yoga untuk ibu hamil.
Table of Contents
Mental Utama Pengusaha Berasal dari Keluarga

“Dulu waktu kecil, ibukku selalu mengajakku ketika ada meeting atau bertemu teman pemilik bisnis,” kata Mbak Regina, yang ternyata dulu pernah satu sekolah denganku di MTsN Karangsari.
Jumat pagi itu, aku datang ke Gemilang Store. Lokasinya cukup strategis: dari pertigaan Pasar Dimoro ke arah barat, lalu di perempatan lampu merah belok ke selatan, tokonya ada di sisi barat jalan.
Begitu masuk, deretan baju dan jilbab terlihat tersusun rapi menyambutku. Aku sempat terpana melihat begitu banyak produk yang bertumpuk.
Tiba-tiba Mbak Regina datang dengan senyuman ramah, namun terlihat sedikit sibuk karena adminnya libur jadi masih ada beberapa yang harus di-handle. Sambil menunggunya, aku berkeliling ke toko sebelah.
Aku melihat ada perempuan paruh baya yang sibuk menata produk. Belakangan aku tahu, beliau adalah ibu dari Mbak Regina dan masih terlihat sangat muda.
Setelah semua pesanan selesai di-handle, kami mulai berbincang. Aku memuji tokonya yang nyaman dan seketika menyadari bahwa memiliki toko atau kantor sendiri–meskipun masih kontrak–ternyata menjadi impian banyak pengusaha.
Awalnya aku mendengar Mbak Regina bercerita sejak SMA sudah memulai mencoba berbisnis, entah membuat gantungan kunci, bros, jasa henna ke teman sekolah, atau jualan kosmetik, dan lain-lain.
Saat itu aku menatapnya dengan heran. “Kok bisa kepikiran mulai berbisnis sih? Terus, kok nggak malu waktu sekolah jualan ini-itu?” tanyaku pelan.
“Ya, kenapa malu, kalau kita nggak salah. Jualan atau berdagang kan termasuk salah satu anjuran Nabi dalam hal mencari rezeki,” jawabnya pasti. “Aku juga sejak kecil sering diajak ibuk ke sana-sini, ketemu banyak orang, dikenalkan dengan teman-teman bisnisnya. Jadi, buatku jualan itu udah kayak hal yang biasa.”
Degh! Aku merasa takjub mendengar jawaban sederhana yang diucapkannya. Saat itu aku benar-benar tersadar, betapa besar peran orang tua dalam membentuk masa depan anak. Bukan hanya soal pola pikir, tapi juga kebiasaan yang orang tua tanamkan sejak dini.
Jika ingin anak tumbuh menjadi seorang pengusaha, maka sejak kecil mereka perlu dikenalkan dengan dunia usaha—ikut meeting, bertemu klien, atau menyaksikan proses negosiasi.
Seperti halnya Mbak Regina, yang sejak kecil sudah terbiasa melihat ibunya berbisnis. Tak heran, kini mental pengusaha sedikit demi sedikit sudah tertanam dalam dirinya.
Berbeda denganku yang sejak kecil sering diajak ibu mengajar mengaji ke rumah-rumah. Hasilnya? Mental “nrimo ing pandum” lebih kuat daripada mental wirausaha. Hehe 😆.

Tak hanya mendengar cerita dari Mbak Regina saja, saat itu aku juga seolah mendapat nasihat baik dari sang ibu. Bahwa apapun usahanya, pasti butuh skill jualan.
“Sekarang apa-apa butuh skill jualan. Nggak cuma barang, jasa juga harus bisa skill menjual. Kalau nggak bisa jualan, ya nggak bisa makan,” ujar sang ibu yang kalimatnya masih terngiang sampai sekarang.
Aku mengangguk menyetujuinya. Tapi jujur, berjualan itu tidak semudah yang terlihat. Butuh mental dan keberanian untuk memperkenalkan produk sendiri tanpa rasa malu.
Bagi yang sudah terbiasa, berjualan itu hal yang sewajarnya, bahkan kadang dianggap menyenangkan. Tapi untuk yang baru mulai, seperti aku dulu, butuh usaha keras untuk keluar dari zona nyaman. Untungnya, aku belajar banyak dari teman-teman di komunitas BCP.
Dari cerita Mbak Regina, ternyata sejak SMA ia sudah mencoba berbagai macam usaha. Mulai dari menjual kosmetik, membuka jasa henna saat dies natalis sekolah, hingga menjalankan bisnis kecil lainnya.
Saat kuliah di jurusan kebidanan, waktunya banyak tersita sehingga aktivitas bisnis sempat terhenti. Namun setelah lulus dan bekerja sebagai bidan di sebuah desa, jiwa wirausahanya kembali tumbuh.
Ia mulai berjualan masker kain, merajut, menjual baju anak, membuka baby spa, berjualan souvenir, dan ganci, hingga akhirnya memiliki bisnis Gemilang Store seperti sekarang.
Dari kisahnya, aku belajar satu hal penting: mental pengusaha lahir dari dukungan keluarga dan kebiasaan yang dibangun sejak dini. Tak banyak orang tua yang menyadari bahwa hal sederhana, seperti mengajak anak ikut ke tempat kerja,bisa menumbuhkan semangat berwirausaha dalam diri mereka.
Dari Honorer Bidan Desa Jadi Punya Banyak Usaha

“Tekanannya berat, gajinya waktu itu hanya sekitar seperempat UMR Blitar dan dibayar setiap tiga bulan sekali. Tapi kalau saat itu aku langsung keluar, kasihan desanya,” ucap Mbak Regina dengan mata berkaca-kaca, mengenang perjuangannya di masa lalu.
Setelah lulus kuliah, ia bercerita pernah bekerja sebagai bidan di sebuah desa. Saat itu masih masa pandemi. Suatu hari, di awal masa kerjanya, tiba-tiba bidan utama desa tempatnya bertugas meninggal karena Covid-19.
Padahal, beberapa hari sebelumnya semuanya tampak baik-baik saja. Sang bidan utama bahkan masih sempat berdiskusi dengannya. Namun tak lama kemudian, kabar duka itu datang begitu cepat.
Sejak saat itu, mau tak mau Mbak Regina harus menggantikan posisi sebagai bidan utama desa. Karena masih baru, ia belum begitu mengenal wilayah maupun masyarakatnya.
Kondisi itu membuatnya terpaksa menjadi pemimpin bagi para kader posyandu. Ia harus berhadapan dengan ibu-ibu, yang bersamaan saat itu pemerintah menggencarkan program baru tentang pencegahan stunting.
Bukan hal yang mudah menjalani hari-hari sebagai honorer bidan desa dengan gaji yang tak seberapa, sementara tekanan dan beban kerjanya begitu berat.
Ia sering kali menjadi sasaran amarah dan keluhan masyarakat. Namun, dari pengalaman itulah ia justru belajar banyak tentang dasar kepemimpinan, bagaimana memimpin dengan empati, mendengarkan dengan sabar, dan menyelesaikan masalah di tengah tekanan.
Menjadi bidan desa sebenarnya bukan pengalaman pertama. Sebelumnya, ia pernah bekerja sebagai bidan di salah satu desa di Kabupaten Blitar.
Namun, desa tempatnya bertugas bersebelahan dengan desa zona hitam, yaitu wilayah dengan tingkat penyebaran virus yang sangat tinggi karena banyak warganya terkonfirmasi positif Covid-19. Saat itu, ia juga terkonfirmasi positif Covid-19, akhirnya dirumahkan hingga beberapa bulan.
Selama hampir empat bulan di rumah tanpa melakukan aktivitas apapun, tiba-tiba muncul ide untuk membuat strap masker, produk yang saat itu sedang ramai di masa pandemi. Tak terduga ternyata jualannya laris.
Setelah itu, ia melamar pekerjaan di sebuah baby spa, sambil belajar banyak hal tentang pelayanan, komunikasi, dan manajemen usaha. Dari pengalaman itu, tumbuh keinginan untuk memiliki usaha baby spa sendiri, yang saat ini dikenal dengan nama gemilang Baby Spa.
Sambil menjalankan baby spa, ia juga sempat berjualan baju anak. Awalnya saat itu omzet perbulan cukup besar. Namun ada fase ketika penjualannya mulai menurun, ia mencari alternatif penghasilan lain dan akhirnya memutuskan untuk melamar kembali menjadi bidan di sebuah desa.
Tak disangka, di tempat barunya itu ia menggantikan bidan utama yang sebelumnya meninggal karena Covid-19. Meski banyak tekanan dan beban berat di pundaknya sebagai bidan desa, namun ia mampu bertahan hingga dua tahun.
Pernah Dikhianati Jadi Bekal Kuat Punya Brand Sendiri
“Usaha itu pasti rugi, tapi risikonya ya kaya,” katanya dengan tegas. Ia percaya, setiap usaha yang dijalankan saat ini pasti akan membuahkan hasil suatu hari
Setelah memutuskan berhenti menjadi bidan desa, ia tak meninggalkan profesinya itu dan mengamalkan ilmunya dengan membuka kelas yoga untuk ibu hamil, punya baby spa, dan perawatan bayi baru lahir.
Selain itu, ia juga menekuni bisnis di bidang fashion sebagai distributor Journey Scarf Blitar, serta menjual berbagai produk kesehatan SR12. Semua usahanya itu berada dalam satu naungan bisnis bernama Gemilang Store.
Jangan tanya bagaimana cara ia membagi waktu, aku sendiri juga heran. Tapi yang paling membuatku salut, caranya untuk mengumpulkan energi setelah seharian bekerja adalah meluangkan waktu membaca novel sejarah.

Aku baca novel itu biar nggak overthinking, Mbak. Jadi ketika seharian ketemu banyak orang, me time-ku ya baca novel,” katanya tersenyum sambil menyebut beberapa judul novel favoritnya seperti Ronggeng Dukuh Paruk, Laut Bercerita, Pulang, dan Perempuan di Titik Nol.
Namun ternyata perjalanan bisnis yang dijalaninya saat ini tidak selalu berjalan mulus. Ia pernah mengalami banyak hal yang tidak mengenakkan. Mulai dari dikhianati karyawan, database pelanggan dicuri, hingga kerja sama yang gagal, padahal sudah mengeluarkan modal puluhan juta rupiah untuk bisnis bersama.
Dari pengalaman pahit itu, ia belajar satu hal penting, “Tidak mudah menemukan partner kerja yang benar-benar cocok. Terutama yang punya visi dan tujuan yang sama.”
Berbekal pengalaman itu justru menjadi tekad berharga untuk terus belajar dan beradaptasi, terutama karena kini ia memiliki keinginan besar, punya brand hijab premium sendiri.
Ia bercerita pernah mencoba membuat produk one set untuk brand pribadi. Mulai dari memilih kain, mencari konveksi luar kota, hingga menyiapkan desain dilakukannya sendiri.
Namun ternyata hasilnya belum sesuai harapan. Ia masih merugi karena belum memiliki perhitungan yang matang. Namun belajar dari kesalahan, kini, ia terus memperbaiki apa yang kurang, memperkuat fondasi bisnis, dan menyiapkan langkah baru ke depannya. Semoga bisa terwujud suatu hari nanti. Amin
Pelajaran Cerita Usaha dari Owner Gemilang Store
Dari pertemuanku dengan Mbak Regina, ada beberapa pelajaran penting yang bisa diambil untuk pemula yang ingin memulai usaha. Diantaranya:
- Dukungan keluarga adalah fondasi utama.
Mental dan kebiasaan berwirausaha bisa dibentuk sejak kecil, misalnya dengan melibatkan anak dalam aktivitas usaha yang sedang dijalankan. - Peluang usaha bisa muncul di mana saja.
Kuncinya adalah kepekaan terhadap kebutuhan sekitar. Kadang ide bisnis datang dari hal sederhana di sekitar kita. - Selektif dalam memilih karyawan dan rekan bisnis.
Meski berasal dari teman sendiri, tetap perlu ada batas dan kesepakatan sejak awal. Jika tidak sejalan, lebih baik memutuskan berhenti. - Terus belajar dan beradaptasi.
Menjadi pengusaha tidak cukup hanya bisa berjualan. Rugi adalah hal biasa, tetapi yang terpenting adalah kemampuan untuk belajar, mengevaluasi, dan bangkit lagi.
Dari perjalanan usaha yang pernah dilalui Mbak Regina menunjukkan bahwa kesuksesan tidak datang secara instan. Dari seorang bidan desa dengan penghasilan minim, ia berusaha menjadi pemilik usaha yang tangguh.
Selanjutnya aku bakalan cerita lagi tentang seorang akuntan yang punya usaha sambal. Tungguin ceritanya, ya. Terimakasih sudah membaca sampai akhir. ***