Jika dua tahun lalu aku merasakan mudik keluar kota, pengalaman pertama setelah menikah karena sebelumnya lebaran ya hanya di rumah. Keluarga besar sebagian besar tinggal di lokasi yang sama. Namun, alhamdulillah dua tahun lalu aku bisa merasakan pertama kali seumur hidup mudik ke luar kota dari Blitar ke Madiun.
Tahun ini, aku tetap mudik, kok. Meskipun hanya beda kecamatan, setidaknya tetap merasakan euphoria mudik yang hanya butuh waktu lima belas menit perjalanan dari rumahku saat ini ke kampung halaman. Meskipun jaraknya tak seberapa, tapi ada perbedaan yang membuatku juga rindu pulang kampung, terlebih ada sosok ibu yang tentunya selalu dirindukan.
Mudik ke Madiun, Terakhir Kali Bertemu Nenek
Cerita pertama kali mudik saat aku berusia 25 tahun jadi pengalaman berkesan sepanjang hidup, apalagi hari-hari ketika di kampung halaman ayah mertua merupakan sebuah lereng gunung di daerah Madiun. Wuih, pohon-pohon hijau masih tumbuh lebat, suara burung dan berbagai hewan juga kadangkala terdengar.
Dua tahun lalu aku pertama dan terakhir kali bertemu ibunya ayah mertua. Sudah cukup lanjut usia karena saat aku datang masih terbaring lemah di ranjang, usianya katanya hamper seratus tahun. Tak ada percakapan antara aku dan nenek, karena beliau hanya memejamkan mata, tak bisa diajak bicara.
Tak hanya menjenguk nenek, aku juga sempat bermain di sebuah air terjun bersama dua saudara dari mas. Kami berempat melewati hutan dengan jalan terjal, menikung dan sedikit curam pada tebingnya. Tapi saat sampai di air terjunnya, duh rasa lelah seolah terbayarkan. Apalagi saat itu aku dapat bonus digigit lintah.
Hal yang paling mengharukan dari mudik dua tahun lalu, saat kami berpamitan pulang. Nenek tak mengucapkan sepatah kata apapun. Tapi selang beberapa jam sampai di rumah, tiba-tiba kami dapat kabar bahwa nenek telah tiada. Mungkin saja beliau bertahan dari rasa sakitnya hanya demi melihat cucu mantu dari ayah mertua.
Mudik ke Rumah Ibu, Tiap Hari Berasa Rindu
Tahun ini mudik lebaran cukup ke rumah ibu yang hanya beda kecamatan, tepatnya ibu berada di Kabupaten Blitar, dan aku di Kota Blitar. Meskipun setiap seminggu sekali aku berusaha datang untuk menjenguk ibu, tapi rasanya rumah ibu memang memiliki suasana kesunyian berbeda.
Setelah menikah, aku tinggal dan menetap di sebuah rumah klasik di tepi jalan raya. Jangan ditanya soal kebisingan lalu Lalang kendaraan yang sudah jadi santapan setiap pagi hari hingga malam. Dulu, rumah semacam ini jadi impianku karena jika ada pagelaran yang lewat di jalanan, tak perlu repot menuju jalan raya. Namun, setelah hamper empat tahun tinggal di kota, rasanya aku jadi merindukan rumah di kampung halaman.
Kampung halaman jadi rumah pulang yang selalu kurindukan. Ada suara jangkrik tiap malam yang berebut dengan kumpulan tonggeret atau kicau burung yang bertengger di dahan pohon-pohon sekitar rumah.
Rumah ibu seperti rumah tua pada umumnya, sederhana tapi memiliki nuansa yang nyaman. Di rumah ini tak terdengar bising kendaraan, yang ada kesunyian menyatu dengan alam. Rumah ibu jauh dari jalan beraspal, tempatnya agar masuk ke dalam. JIka taka da percakapan, yang terdengar selalu saja gemerisik dedaunan bergesekan dengan gelombang angina. Kicau burung terdengar silih berganti dari yang melengking hingga berat.
Kesimpulan
Sejak tinggal di kota, aku kembali berharap punya rumah di desa, seperti rumah ibu. Ada banyak hal yang ternyata selalu kurindukan saat di kota. Salah satunya soal kesunyian ternyata selalu memberikan ketenangan. Bahkan terkadang inspirasi jadi berdatangan. Jauh berbeda dengan rumahku saat ini di kota, terkadang rumah ini berasa jadi kantor, bukan tempat pulang tapi tempat kerja dan merantau. Tapi tak apa, bukankah aku masih punya rumah ibu untuk mudik lebaran tahun ini. ***