“Kalau kita memutuskan hidup minimalis, harus siap tentang konsep suatu barang yang dimiliki lebih sedikit tapi berfungsi. Begitu pula soal pakaian, mending menerapkan baju ramah lingkungan, beli kain yang berkualitas dan awet daripada murah, tapi menumpuk, gampang rusak, dibuang dan akhirnya jadi limbah,” pesan suami.
Kata suami beberapa waktu lalu masih terngiang-ngiang di kepala. Awalnya aku hanya membicarakan bagaimana rasa sesak yang mendadak muncul saat membuka lemari pakaian. Tumpukan baju dari rak paling atas hingga bawah tak berkurang, justru terus saja bertambah tiap waktu padahal yang digunakan sehari-hari hanya itu-itu saja.
Akhirnya suami menjelaskan konsep hidup minimalis yang sebenarnya cocok diterapkan untuk keluarga kecil kami yang tinggal di rumah tak terlalu luas. Sejak saat itu kami memutuskan hidup minimalis, bukan hanya mengikuti tren isu lingkungan karena sedang banyak dikampenyekan, tetapi keputusan muncul karena menyadari ada yang perlu diperbaiki soal gaya hidup.
Meskipun masih awam tentang hidup minimalis, bagiku lebih baik segera memulai, salah satunya dengan bijak berpakaian. Persoalan pakaian mungkin terdengar sepele, namun ternyata menimbulkan masalah baru terhadap lingkungan. Terlebih lagi saat ini pakaian bukan hanya berfungsi untuk melindungi tubuh dari hawa dingin dan panas saja, tetapi juga memiliki peranan penting dalam meningkatkan status sosial.
Hidup di negara yang masyarakatnya masih menilai soal penampilan, membuat pakaian atau fashion jadi atribut wajib. Apalagi pakaian juga menjadi penanda gaya hidup sosial. Seolah-olah setiap orang berusaha menjadi fashionable agar tidak ketinggalan zaman dan diakui di hadapan orang lain.
Hingga akhirnya mengutamakan penampilan berakibat membentuk pola hidup konsumtif masyarakat. Para desainer harus jadi berlomba-lomba mencari peluang dengan mengeluarkan koleksi model terbaru secara cepat. Koleksi tren pakaian terbaru yang dituntut dari pola hidup yang konsumtif di masyarakat itulah membentuk fenomena fast fashion.
Dampak Baju yang Tidak Ramah Lingkungan
Produk fast fashion adalah fenomena pakaian diproduksi dengan cepat, harga terjangkau, namun memiliki sejumlah masalah yang berkaitan dengan lingkungan. Fenomena fast fashion atau baju yang tidak ramah lingkungan kini sedang kita rasakan berdampak dan berkontribusi besar terhadap pemanasan global.
Siklus rantai pencemaran fast fashion memiliki perputaran yang berdampak besar terhadap lingkungan. Berawal dari produksi yang membutuhkan banyak air dalam jumlah besar, bahan kimia, energi, hingga pekerja di industri tersebut terancam kesehatan dan keselamatan kerjanya karena setiap hari terpapar zat kimia berbahaya dari bahan kimia tekstil.
Dari segi konsumsi, dengan adanya fenomena fast fashion, menjadi penyebab budaya konsumtif di kalangan masyarakat. Selain bahan yang digunakan cepat rusak, pola hidup masyarakat juga mulai berubah yang memilih membuang pakaian dan membeli pakaian dengan model baru, harga murah, daripada harus mendaur ulang.
Demi mencapai harga murah dengan produksi banyak, industri fast fashion juga menurunkan kualitas produknya dengan bahan polyester. Bahan tersebut mengandung plastik yang menyumbang emisi karbon 1,2 miliar ton CO2 dan limbah air yang dibuang ke sungai mengeluarkan zat beracun yang berbahaya untuk kehidupan lautan.
Untuk mengurangi dampak fenomena fast fashion, yang menjadi penyebab perubahan iklim saat ini, sebenarnya setiap orang dapat berperan dengan cara lebih bijak dalam berpakaian. Salah satunya mulai memilih produk brand lokal fahion ramah lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, atau menerapkan membeli pakaian bekas untuk memperpanjang usianya.
Pakai Baju Ramah Lingkungan, Solusi Bijak Jaga Kehidupan
Ada banyak cara menjaga lingkungan untuk masa depan, dimulai dari bijak berpakaian dengan memilih brand yang mendukung tentang keberlanjutan. Selain itu, beberapa solusi berikut ini juga mampu mengurangi limbah fast fashion yang bisa kita lakukan dimulai dari diri sendiri.
- Mix and Match pakaian juga menjadi salah satu solusi mengurangi limbah fashion, dengan memadupadankankan antara pakaian yang satu dengan yang lain. Usahakan saat membeli atau memilih baju dengan warna netral sehingga bisa digabungkan.
- Memilih bahan pakaian dari katun dan linen, daripada bahan sintetis yang berbahan dasar plastik agar tidak mencemari lingkungan. Katun dan linen merupakan kain ramah lingkungan yang lebih kuat dan tahan lama. Apalagi kain linen terbuat dari bahan alami sehingga bahanya halus dan lembut.
- Merawat pakaian yang dimiliki dengan memperbaikinya jika ada yang rusak, seperti kancing copot, atau benangnya terurai. Hal ini dilakukan agar pakaian dapat berumur panjang.
- Membeli brand lokal yang mendukung sustainable fashion. Saat ini telah banyak brand lokal yang mulai menggunakan bahan limbah untuk didaur ulang sebagai bahan fashion. Brand tersebut seperti Gambo Muba adalah kain khas dari Musi Banyu Asin Kalimantan yang diwarnai dengan getah gambir yang dianggap limbah, ada juga Sukkha Citta dari Jawa Tengah yang telah berdiri sejak tahun 2016. Sukkha Citta dalam pembuatan brandnya menggunakan warna dari buah-buahan, serta bahan pakaiannya menanam sendiri kapasnya.
- Membeli pakaian preloved atau secondhand juga dapat mengurangi dampak limbah tekstil. Tak hanya ramah lingkungan, tetapi juga hemat di kantong.
Siapapun dari kita dapat berperan besar dalam menyelamatkan kehidupan di masa depan yang bisa dimulai dengan cara sederhana dari rumah. Seperti halnya memulai untuk lebih bijak soal berpakaian, dengan cara membeli baju sesuai kebutuhan, memperbaiki serta merawat pakaian untuk memperpanjang usianya, hingga mendukung brand lokal yang memproduksi baju ramah lingkungan. Kalau bukan kita yang menjaga alam semesta, siapa lagi? ***