Isu Lingkungan dan Masyarakat Adat dalam Kumpulan Cerita Berjudul `Kita Susah Tidur Sejak Dilahirkan’

“Banyak bekal yang harus dipersiapkan agar bisa menjadi penulis yang karyanya dikenang pembaca, salah satunya soal kepekaan,”

Dulu kupikir menulis hanyalah semacam curhatan atau nulis buku diary saja. Tak perlu memikirkan unsur instrinsik atau ekstrinsik,  bahkan diributkan dengan harus baca buku ini itu agar lebih banyak kosakata tak monoton.  Tapi ternyata, ketika memutuskan untuk jadi penulis harus siap dengan bekal dan modalnya. Salah satunya soal kepekaan, entah terhadap lingkungan sekitar, atau isu yang lagi trending dibicarakan.

Seperti halnya soal isu lingkungan yang baru-baru ini mulai sering diperbincangkan karena dampaknya sudah bisa kita rasakan. Cuaca dan panas ekstrem berhari-hari jadi dampak global boiling atau bumi sedang mendidih, bukan lagi global warming, ya. Namun sayangnya masih ada beberapa masyarakat yang belum sadar cuaca ekstrem sebenarnya akibat bumi sedang tidak baik-baik saja.

Bahkan di kotaku, panas ekstrem dan bikin gerah yang terjadi beberapa hari ini sering dikaitkan dengan aktivitas Gunung Kelud yang levelnya naik jadi siaga. Padahal menurut laporan dari BPBD yang dilansir dari Instagram @infoBlitar, aktivitas Gunung Kelud sedang baik-baik saja.

Isu lingkungan juga sangat berkaitan dengan masyarakat adat atau sekumpulan orang yang menempati wilayah adat tertentu, namun di beberapa tahun ini keberadaan masyarakat adat makin terancam dari tanah leluhurnya akibat industri dan perusahaan yang ingin mengeruk sumber daya alam. Cerita-cerita fakta itulah yang menumbuhkan kepekaan penulis bernama Aksan Taqwin Embe yang bercerita tentang masyarakat adat.

Cerita Berjudul Bisikan, Tentang Masyarakat Adat yang Diusir dari Tanah Leluhur

“Lahan-lahan yang biasanya menyebar kesejukan sudah menjelma perkebunan sawit yang luasnya nyaris 11 ribu hektar. Panas dan meresahkan. Orang-orang pribumi sudah tersisihkan, tidak memiliki tempat.” (Hal 94)

Cerita berawal dari seorang perempuan berusia lanjut yang dipaksa harus pergi dari tanahnya sendiri. Ia yang tinggal seorang diri hanya bisa pasrah ketika dua orang tak dikenal mendatanginya lalu menyekap, bahkan mengintimidasi agar mau menjual tanah leluhurnya.

Perempuan itu bernama Mbok Das, dulunya ia tinggal bersama suami yang keduanya berprinsip tak ingin menjual tanah dan rumah kepada perkebunan sawit meskipun diiming-imingi uang ganti rugi. Orang-orang sekitar Mbok Das lebih memilih pergi ke kota dengan mengambil uangnya, namun Mbok Das lebih memilih kukuh mempertahankan tanah adat sebagai warisan, tempat bermuaranya segala kedamaian yang bisa mendekatkan diri dengan Tuhan dan leluhur.

 “Tempat asal muasal—warisan yang dipindahtugaskan dari leluhur, sudah beralih tangan ke para penguasa tanah. Hanya demi uang. Alhasil mereka—pribumi berpindah di sebuah tempat yang riuh dan bising kendaraan. Di kota-kota mereka beradu nasib. Berpindah memperbaiki kehidupan agar lebih baik. Lupa dengan tanah dan warisan.” (Hal 95)

Membaca cerita pendek berjudul bisikan ini membuat pembaca jadi punya sudut pandang lain bagaimana akhir kisah hidup keluarga Mbok Das yang akhirnya tewas karena tak mau menjual tanah leluhur yang telah ditinggali bertahun-tahun. Kekuatan masyarakat untuk bersama-sama mempertahankan wilayah adat terlihat masih lemah karena adanya iming-iming uang, padahal justru dirugikan.

Menurut situs dari masyarakat aman mengatakan bahwa, masyarakat adat bakal tak ada kalau tak memiliki wilayah adat. Lalu, jika wilayah adatnya jadi perusahaan sawit, sumber daya dieksploitasi besar-besaran, bagaimana nasib masyarakat yang sejak dulu tinggal, menetap serta menjaga sumber daya alam agar bisa turut dirasakan oleh anak cucu di masa depan.

Oleh karena itu, pentingnya peran pemerintah dalam mengatur kebijakan untuk kelestarian masyarakat adat. Dalam cerita berjudul bisikan ini, tak ada cerita peran pemerintah yang harusnya menjaga, namun kenyataannya justru perusahaan dan penguasa tanah makin merajalela. Begitulah kepekaan terhadap isu di sekitar ternyata bisa dibangun dengan membaca cerita pendek.

Masyarakat Adat Dipaksa Terusir dari Tanah Kelahiran

“Jika di tanah kelahiran saja diusir dan disingkirkan. Lalu dimana lagi mereka hidup dengan damai dan rasa aman?”

Aku tak bisa membayangkan jika di tanah kelahiran, tanah yang sejatinya sudah ditinggali selama bertahun-tahun, bahkan di tanah tersebut, orang-orang hidup dan berjuang untuk kehidupannya bersama anak dan cucu, harus dipaksa diusir dan disingkirkan.

Berulangkali aku membaca berita bagaimana orang-orang yang disebut masyarakat adat itu harus berjuang mempertahankan rumah dan tanah kelahirannya. Mereka dipaksa tunduk dan patuh pada penguasa, padahal selama ini hidup tenang di tanah leluhur.

Ada banyak berita yang menceritakan bagaimana masyarakat adat berjuang mempertahankan tanah adat. Tak hanya satu atau dua masyarakat adat yang dituntut untuk pergi dari tanah kelahiran, berita terbaru dikutip dari aman.or.id ada masyarakat adat suku Awyu yang terletak di Papua selatan menggugat dinas penanaman Modal PTSP Papua karena mengeluarkan izin lingkungan hidup bagi perusahaan perkebunan sawit PT Indo Asiana Lestari.

Nasib masyarakat adat suku Awyu semakin terancam, terlebih lagi timbul rasa khawatir tentang keberlangsungan hutan, tanah, air, flora fauna yang menjadi sumber kehidupan mereka akan dirampas oleh perusahaan sawit. Bagi masyarakat suku Awyu, tanah dan hutan seperti rekening pribadi yang menjadi keberlangsungan kehidupan mereka hingga saat ini.

Tak hanya masyarakat adat di Tanah Papua, ada juga masyarakat adat balik sepaku yang menolak digusur dari tanah dan rumah mereka di sepanjang sungai Sepaku, Penajam Paser Utara. Penggusuran dilakukan karena pembangunan ibu kota baru, IKN, yang akan menampung lebih dari 2 juta penduduk.

Lalu siapa sebenarnya masyarakat adat yang terus berjuang mempertahankan tanah kelahiran, tetapi juga harus mendapat perlindungan agar kehidupannya aman.

Siapa Masyarakat Adat?

Dikutip dari Aman.co.id, ‘Masyarakat adat  (Indigeneous peoples) adalah kelompok masyarakat yang memiliki sejarah asal-usul dan menempati wilayah adat secara turun temurun. Masyarakat adat memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mempertahankan keberlanjutan kehidupan masyarakat adat sebagai komunitas adat’

Jika tanah atau wilayah adat yang mereka tempati harus digusur atau relokasi, bukan tidak mungkin mereka akan kehilangan identitas dirinya sebagai masyarakat adat. Karena masyarakat adat tanpa wilayah tertentu yang telah ditempati dan hidup tradisi dan banyak kisah leluhuhur, tentu bukan masyarakat adat.

Kesimpulan

Sebenarnya kita juga bisa turut serta membantu masyarakat adat dalam memperjuangkan tanah kelahirannya sebagai apresiasi telah menjaga dan merawat bumi dengan sepenuh hati. Salah satunya, dengan ikut menyuarakan agar pemerintah segera mengesahkan RUU masyarakat adat yang hampir 10 tahun lebih masih kondisi sedang diperjuangkan.

Tentunya sebagai blogger juga memiliki peranan yang sama untuk ikut menajaga kelestarian lingkungan, yaitu dengan menuliskan dan mengenalkan bagaimana masyarakat adat dan komunitas lokal memiliki peranan penting dalam menjaga bumi yang kini mulai tak baik-baik saja. Menceritakan melalui tulisan atau media sosial bagaimana masyarakat adat sedang berjuang mempertahankan haknya, padahal mereka sepenuh hati dengan ikhlas menjaga bumi untuk negeri.

Untuk itulah, mari jaga dan lindungi mereka, sebagaimana masyarakat adat merawat bumi dengan sukarela. ***

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *